Ketika menghadiri diskusi dengan Dr. Ben Murtagh, seorang peserta bertanya apakah penggunaan Generative-AI seperti ChatGPT melanggar integritas akademik? Dr. Ben memberikan pandangan menarik yang sedang dipertimbangkan oleh School of Oriental and African Studies (SOAS) di London. “Ini memang rumit, tetapi jika AI digunakan untuk meningkatkan kualitas tulisan atau memperbaiki struktur tanpa mengubah ide dasar, itu merupakan fungsi yang sangat baik,” katanya. Dr. Ben juga menekankan bahwa SOAS memilih berdamai dengan AI daripada memusuhinya.
Daftar Isi
- 1 Peran AI dalam Karya Ilmiah
- 2 Kesalahpahaman Tentang AI
- 3 AI Bukan Sekadar Mesin Pencari
- 4 Terminologi AI yang Disempitkan
- 5 Etika Penggunaan AI
- 6 Kebijakan Akomodatif untuk AI
- 7 Menghadapi Tantangan dan Memanfaatkan Peluang AI
- 8 Pendidikan dan Kesadaran tentang AI
- 9 Kolaborasi dengan Industri Teknologi
- 10 Kesimpulan
Peran AI dalam Karya Ilmiah
Penggunaan AI dalam produksi karya ilmiah menjadi isu global sejak kemunculan ChatGPT pada November 2022. Para insinyur ChatGPT kemudian “membatasi” kemampuannya agar tidak melanggar integritas akademik. Meskipun ChatGPT adalah Generative-AI yang bisa memproduksi konten, saat ini ChatGPT enggan menulis karya ilmiah yang siap pakai. Bahkan, dalam memberikan informasi, ChatGPT lebih memilih memperkaya jumlah data dan meminta pengguna mengecek ulang validitasnya.
ChatGPT memiliki potensi besar untuk membantu dalam produksi karya ilmiah dengan meningkatkan kualitas tulisan dan memperbaiki struktur tanpa mengubah ide dasar. Fitur-fitur ini memungkinkan penulis untuk menghasilkan karya yang lebih baik dengan waktu yang lebih efisien. Selain itu, ChatGPT dapat berfungsi sebagai alat bantu untuk mengumpulkan dan meringkas informasi dari berbagai sumber, sehingga memudahkan peneliti dalam memperoleh data yang relevan. Namun, penggunaan AI dalam karya ilmiah harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan prinsip-prinsip integritas akademik.
Kesalahpahaman Tentang AI
Versi terkini ChatGPT sudah menunjukkan fungsi idealnya, yaitu sebagai pembantu bagi penulis dalam meningkatkan kualitas karya. Bukan sebagai budak yang bisa dibebankan tugas memproduksi karya dari nol lalu terima beres. Sebagaimana dikatakan Dr. Ben, AI sangat layak digunakan dalam memperbaiki tulisan yang sudah selesai ditulis agar lebih berkualitas dengan waktu yang lebih efisien.
Namun, hal ini masih belum dipahami oleh banyak orang di Indonesia, terutama di kalangan akademisi. Sebagaimana saya prediksikan, cepat atau lambat penggunaan AI akan menjadi keniscayaan. Menolaknya secara mutlak bukan langkah tepat, namun kebijakan penggunaannya perlu digariskan secara detail agar tidak terjadi pelanggaran integritas. Nyatanya, AI masih dianggap musuh oleh sebagian orang, dan fungsinya sering disalahpahami. Tak heran jika ada yang berkata, “AI sering memberikan informasi yang salah, lebih buruk dari mesin pencari Google.”
AI Bukan Sekadar Mesin Pencari
Pernyataan tersebut mencerminkan salah paham tentang AI, terutama ChatGPT. Perlu diingat, ChatGPT bukan mesin pencari seperti Google atau ladang informasi seperti Wikipedia. Memang, salah satu fungsi utama Generative-AI adalah mengumpulkan dan meringkas informasi, namun ChatGPT selalu mengingatkan pengguna untuk melakukan cross-check atas jawabannya. Pernyataan tadi menunjukkan bahwa orang tersebut hanya ingin hasil instan dari AI. Bukan hanya menyempitkan fungsi AI sebatas mesin pencari, orang tersebut juga punya masalah integritas.
Sebagai contoh, banyak yang masih menganggap AI sebagai alat yang bisa memberikan jawaban instan tanpa perlu melakukan verifikasi lebih lanjut. Padahal, ChatGPT dirancang untuk membantu penulis dalam menyusun informasi dan memberikan saran, bukan untuk menggantikan proses verifikasi dan validasi data yang harus dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat tentang fungsi dan keterbatasan AI sangat penting agar teknologi ini bisa digunakan dengan bijak dan efektif.
Terminologi AI yang Disempitkan
Saat ini, terminologi AI sangat disempitkan pada ChatGPT. Padahal ada puluhan tool lain yang berbasis dan berfungsi layaknya ChatGPT, bahkan lebih canggih seperti Claude, Gemini, hingga Co-pilot. Beberapa bahkan bisa memproduksi tulisan lengkap dengan referensi yang rapi seperti Perplexity atau menyediakan ringkasan artikel akademik dengan cepat seperti Elicit. Sedikit yang tahu bahwa alat bantu parafrase Quilbot dan pengecekan tata bahasa Grammarly keduanya berbasis AI. Anehnya, penggunaan tool tadi tidak dikategorikan sebagai penggunaan AI dan tidak terkesan melanggar integritas.
Kesalahpahaman ini menjadi alasan AI dimusuhi. Banyak yang menganggap “AI itu sama seperti Google dan Wikipedia, tetapi mampu memberikan hasil yang lebih bagus, sehingga sulit menilai keaslian tulisannya.” Bagi mereka, menggunakan AI sama saja dengan menjiplak, yang merupakan pelanggaran integritas. Penilaian ini mengabaikan fungsi esensial Generative-AI yang seharusnya digunakan dalam dunia akademik sebagai asisten peningkat kualitas karya ilmiah, seperti yang dikatakan Dr. Ben.
Etika Penggunaan AI
Kesalahan bukan hanya terletak pada kesalahpahaman publik; persoalan etika penggunaan atau pertimbangan etis sebelum suatu produk AI dibuat juga menjadi masalah besar. Harus diakui sebagaimana disebutkan oleh William Aspray dan Philip Doty dalam “Does technology really outpace policy, and does it matter?” (2023), kelajuan perkembangan teknologi saat ini melebihi kemampuan manusia untuk mempertimbangkan konsekuensi sosial dan moral dari teknologi itu.
Absennya uji etik dan kredibilitas sebelum produk dirancang, serta minimnya pakar etika teknologi membuat situasi semakin rumit. Persoalan tentang bagaimana cara bijak dalam menggunakan AI di bidang akademik semestinya bisa diprediksi melalui pertimbangan etik dan kredibilitas. Biasanya, pengujian ini dilakukan melalui pertanyaan skeptis yang harus dijawab serius oleh pengembang teknologi.
Contohnya, “Bagaimana jika fitur ChatGPT membuat seseorang enggan membaca tulisan secara lengkap, apa langkah developer untuk mencegah ini terjadi?” Atau, “Bagaimana jika informasi yang diberikan sangat bias, apa solusi yang ditawarkan developer?”
Selain itu, pertimbangan etis juga harus mencakup bagaimana AI dapat digunakan untuk mendukung proses pembelajaran dan penelitian tanpa mengorbankan integritas akademik. Misalnya, pengembangan pedoman penggunaan AI yang jelas dan transparan di lingkungan akademik bisa membantu memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan cara yang bertanggung jawab. Institusi pendidikan juga perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk mahasiswa, dosen, dan peneliti, dalam merumuskan kebijakan penggunaan AI yang tepat.
Kebijakan Akomodatif untuk AI
Laju produksi teknologi sudah melampaui analisis skeptis. Saat ini, kebijakan terhadap penggunaan teknologi lebih bersifat reaktif daripada akomodatif. Sederhananya, “Larang penggunaannya hingga kita tahu cara mengendalikannya.” Pola kebijakan ini juga terjadi dalam persoalan AI, seperti yang dikatakan Dr. Ben bahwa SOAS masih merancang kebijakan akomodatif, padahal perkembangan AI sudah jauh maju.
Pertanyaannya, apakah universitas di Indonesia sudah sadar akan perkembangan ini? Sejauh ini, saya belum menemukan kampus yang menawarkan kebijakan akomodatif dalam penggunaan AI. Meskipun beberapa akademisi mulai berbicara tentang potensi positif AI, pembahasan rinci soal pemanfaatannya masih minim.
Narasi negatif tentang AI dan pelanggaran integritas lebih sering terdengar. Sementara itu, kampus-kampus dunia seperti UC Berkeley dan Harvard sudah merilis panduan penggunaan ChatGPT dalam aktivitas akademik. Sepertinya masih perlu waktu agar kebijakan akomodatif bisa lahir di Indonesia. Barangkali bisa dimulai dengan memperbaiki persepsi tentang Generative-AI dan bentuk kecerdasan buatan lainnya.
Menghadapi Tantangan dan Memanfaatkan Peluang AI
Menghadapi tantangan yang ada, universitas dan lembaga pendidikan di Indonesia perlu mengambil langkah proaktif untuk memahami dan mengintegrasikan AI dalam proses pembelajaran dan penelitian. Salah satu langkah awal yang bisa diambil adalah dengan memberikan pelatihan dan workshop tentang penggunaan AI kepada dosen dan mahasiswa. Hal ini bisa membantu meningkatkan pemahaman mereka tentang potensi dan keterbatasan AI, serta cara menggunakannya secara efektif dan etis.
Selain itu, institusi pendidikan juga perlu mengembangkan kebijakan yang jelas dan transparan mengenai penggunaan AI. Kebijakan ini harus mencakup pedoman tentang bagaimana AI dapat digunakan untuk mendukung proses pembelajaran dan penelitian, serta langkah-langkah yang harus diambil untuk memastikan integritas akademik tetap terjaga. Dengan adanya kebijakan yang komprehensif, dosen dan mahasiswa akan memiliki panduan yang jelas tentang bagaimana menggunakan AI dengan cara yang bertanggung jawab.
Pendidikan dan Kesadaran tentang AI
Penting juga untuk meningkatkan kesadaran tentang AI di kalangan masyarakat umum. Banyak orang masih memiliki pemahaman yang salah tentang AI dan potensinya. Kampanye edukasi tentang AI bisa membantu mengubah persepsi ini dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana AI dapat digunakan untuk kebaikan.
Misalnya, seminar dan diskusi publik tentang AI dan etika penggunaannya bisa diadakan secara rutin. Media massa juga dapat memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi yang akurat tentang AI dan potensinya. Dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang AI, kita dapat meminimalkan kesalahpahaman dan ketakutan yang tidak berdasar tentang teknologi ini.
Kolaborasi dengan Industri Teknologi
Universitas dan lembaga pendidikan juga bisa menjalin kolaborasi dengan industri teknologi untuk mengembangkan solusi AI yang sesuai dengan kebutuhan akademik. Kolaborasi ini bisa mencakup pengembangan alat bantu AI yang dirancang khusus untuk mendukung proses pembelajaran dan penelitian. Dengan bekerja sama dengan industri teknologi, institusi pendidikan bisa memastikan bahwa mereka memiliki akses ke alat dan teknologi terbaru yang bisa membantu meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian.
Selain itu, kolaborasi ini juga bisa membantu menciptakan peluang kerja bagi lulusan universitas. Industri teknologi yang berkembang pesat membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan tentang AI. Dengan memberikan pelatihan dan pendidikan yang relevan, universitas bisa membantu menciptakan tenaga kerja yang siap menghadapi tantangan di era digital.
Baca Juga: Samsung Galaxy AI Hadirkan Terjemahan Real-Time di WhatsApp
Kesimpulan
Pemanfaatan Generative-AI dalam dunia akademik menawarkan banyak peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian. Namun, tantangan terkait etika dan integritas akademik harus dihadapi dengan serius. Universitas dan lembaga pendidikan perlu mengambil langkah proaktif untuk memahami, mengintegrasikan, dan mengatur penggunaan AI secara bijak dan bertanggung jawab. Dengan demikian, AI dapat menjadi alat yang berharga dalam mendukung proses pembelajaran dan penelitian, sekaligus menjaga integritas akademik yang tinggi.